,

Budaya dan Tradisi Bali: Benar Fleksible atau Dipaksa Fleksible?

Budaya Bali terkenal karena fleksibilitasnya dalam menghadapi perubahan zaman. Namun dibalik keterbukaannya terhadap wisatawan dan modernitas, muncul pertanyaan penting. Apakah budaya Bali beradaptasi secara sukarela, atau justru karena tekanan luar yang semakin intens?

Fleksibilitas budaya berarti kemampuan suatu komunitas menjaga identitasnya sambil menerima perubahan. Di Bali, hal ini tercermin dalam konsep Tri Hita Karana.  Tri Hita Karana, yaitu konsep tiga harmoni dalam hidup: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (dengan sesama manusia), dan Palemahan (dengan alam). Prinsip ini menjadi landasan budaya dan spiritual yang mendalam, menyeimbangkan tradisi dan keterbukaan.

Komersialisasi Budaya: Berkah atau Ancaman?

Di tengah gempuran pariwisata yang masif, ritual dan adat istiadat Bali mulai bertransformasi. Upacara seperti melasti, ngaben, atau odalan, yang dahulu sakral, kini sering dikemas sebagai atraksi wisata. Tari-tarian seperti Barong dan Legong tidak lagi hanya ditampilkan pada waktu tertentu dalam upacara keagamaan, tetapi juga hampir setiap malam di hotel dan panggung hiburan.

Hal ini tentu membawa konsekuensi: makna spiritual perlahan terkikis, digantikan tuntutan visual dan hiburan. Komersialisasi budaya menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, Komersialisasi budaya meningkatkan ekonomi lokal. Namun di sisi lain, berisiko mereduksi nilai-nilai sakral menjadi tontonan yang kehilangan konteks.

Jika arah perubahan budaya Bali lebih banyak didorong oleh tekanan eksternal daripada refleksi internal, maka keberlanjutan budayanya terancam. Ritual bisa kehilangan makna, sakralitas bisa melebur dengan profan, dan masyarakat bisa terasingkan dari akar budayanya sendiri.

Kedepannya, tantangan Bali bukan sekadar melestarikan “bentuk” budaya, tetapi mempertahankan jiwa dan makna di balik setiap upacara, tradisi, dan simbol. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama. Mulai dari masyarakat lokal, pemangku adat, pemerintah, hingga pelaku pariwisata.

Salah satu konsekuensi menjadikan pura sebagai tempat komersial. Sumber : news.detik.com – Adita Mardiastuti

Generasi Muda dan Perubahan Arah Budaya

Tak hanya pariwisata, modernisasi dan globalisasi mempercepat transformasi budaya. Generasi muda Bali kini semakin terpapar gaya hidup digital, tren luar negeri, dan nilai-nilai individualistik yang sering kali bertentangan dengan filosofi kolektif masyarakat adat. Lontar-lontar kuno seperti Asta Kosala-Kosali mulai digantikan oleh pendekatan praktis ala Barat. Bahkan, pura yang sejatinya tempat suci, kini kadang dibuka untuk sesi foto pre-wedding atau komersial.

Fenomena ini tidak bisa dijelaskan secara hitam-putih. Sebagian perubahan berasal dari kesadaran internal seperti keinginan untuk efisiensi dalam pelaksanaan ritual. Tapi banyak juga perubahan yang terjadi karena tekanan ekonomi dan pasar global. Kombinasi keduanya menciptakan realitas budaya yang dinamis, namun rentan kehilangan esensinya.

Perubahan adalah keniscayaan, tetapi bagaimana perubahan itu terjadi harus disikapi secara kritis. Apakah kita mengadaptasi budaya untuk memperkuat jati diri, atau sekadar mengemasnya agar “layak jual”?

Kini saatnya membangun kesadaran kritis terhadap segala bentuk transformasi budaya. Edukasi, keterlibatan generasi muda, dan regulasi etis dalam dunia pariwisata harus dikedepankan. Tanpa itu, Bali mungkin akan tetap indah dari luar, tetapi kosong dari dalam.

Sumber:
Ardhana, I. K. (2012). Tri Hita Karana dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar: Udayana University Press.

Foto cover: Dokumentasi pribadi
Penulis kontributor: I Wayan Yunan Pradipa
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *