,

Ilmu Tak Tumbuh, Pungli Kian Riuh

Dugaan kasus korupsi dan pungli dilakukan oleh tenaga pendidik di lingkungan SMPN 10 Denpasar, Bali. Hal ini diketahui ketika terdapat banyak aduan dari orang tua siswa terkait arahan terbaru dari pihak sekolah. Di tahun ajaran baru 2025-2026 para siswa kelas 8 dan 9 diarahkan untuk kembali membeli setelan baju adat baru yang digunakan tiap hari kamis. Arahan tersebut diindikasikan sebagai kegiatan pungli atau pungutan liar yang dilakukan oleh pihak sekolah kepada para siswanya.

Namun sebelumnya, apa itu pungli?

Menurut KBBI pungutan liar merupakan pungutan uang yang tidak sah, atau yang tidak berdasarkan pada aturan resmi. Menurut Dr. Andi Hamzah seorang ahli hukum pidana mengatakan bahwasanya pungutan liar termasuk dalam kategori korupsi administratif, karena tidak memiliki dasar hukum dan dilakukan oleh oknum yang menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan. Jika kita menilik dari dua sumber tersebut, maka dapat kita simpulkan kegiatan pungli dapat dikategorikan sebagai praktik tindak pidana korupsi. 

Berdasarkan pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang termasuk seperti pada kutipan berikut, yaitu “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran…”. Kutipan undang-undang tersebut menjadi landasan bahwa kegiatan pungli termasuk atau merupakan salah satu tindak pidana korupsi.

Praktik penjualan seragam yang bersifat wajib dan berharga tinggi banyak dikeluhkan orang tua menjelang tahun ajaran baru. Sumber: pojoksatu.id – Rifki Setiadi

Dugaan pungli dan korupsi?

Aduan orang tua siswa terkait dengan arahan sekolah untuk membeli setelan baju kemeja dan kebaya baru yang dikeluarkan oleh pihak sekolah diindikasikan sebagai kegiatan pungli. Perlu diketahui, aturan menggunakan pakaian adat Bali pada hari kamis telah tertuang pada Peraturan Gubernur No 79 Tahun 2018. Sekolah menjadi salah satu tempat pengaplikasian peraturan gubernur tersebut dengan tujuan diharapkan para siswa dapat melestarikan budaya adat Bali.

Namun, menurut para orang tua siswa hal ini dirasa memberatkan dikarenakan siswa kelas 8 dan 9 diarahkan membeli setelan baju baru di sisa waktu sekolah mereka yang hanya tersisa 1 dan 2 tahun saja. Para orang tua siswa juga merasa keberatan dengan harga setelan baju adat yang dirasa tidaklah wajar. Menurut informasi yang beredar, harga setelan baju adat yang harus dibayar mencapai Rp.540.000.

Orang tua siswa juga menanyakan mengenai urgensi para siswa kelas 8 dan 9 diarahkan untuk membeli baju adat baru yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Mereka menyayangkan biaya yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan pembelajaran para siswa sebaliknya digunakan untuk pembelian setelan baju adat baru yang dirasa tidak perlu.

Hal ini diperparah dengan tidak adanya pemberitahuan resmi maupun rapat pertemuan antara komite sekolah dengan orang tua siswa. Pihak sekolah melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa pembelian setelan ini tidaklah wajib. Sedangkan di sisi lain, orang tua siswa mengatakan bahwa anak mereka tiba-tiba diarahkan untuk mengukur ukuran baju dan kebaya di sekolah, arahan ini dilakukan tanpa adanya surat resmi dan hanya melalui arahan secara lisan oleh para guru.

Klarifikasi karena terlanjur viral?

Postingan Klarifikasi dari akun Humas SMPN 10 Denpasar. Sumber: Instagram @humas_spenda

Pada postingan akun instagram Humas SMPN 10 Denpasar yang dipublish tertanggal 26, Juli, 2025 berisikan mengenai klarifikasi pihak sekolah atas kegaduhan yang telah terjadi. Sebelumnya, berita mengenai aduan orang tua siswa muncul dari postingan @aryawedakarna. Melalui postingan klarifikasi tersebut, orang tua merasa pihak sekolah terlambat dalam menanggapi keresahan yang terjadi. Jika orang tua siswa tidak melakukan laporan sebelumnya, apakah akan ada tindakan evaluasi internal oleh pihak sekolah?

Sekolah tempat edukasi, bukan korupsi!

Kasus dugaan pungli di SMPN 10 Denpasar menyoroti ironi bahwa lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat menanamkan nilai integritas, justru dicederai oleh praktik yang melanggar hukum.

Arahan pembelian baju adat baru bagi siswa kelas 8 dan 9 tanpa dasar hukum yang jelas serta tanpa komunikasi resmi dengan orang tua, menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan wewenang. Meski pihak sekolah mengklaim bahwa pembelian tidak diwajibkan, kenyataan di lapangan menunjukkan tekanan halus melalui pengukuran baju tanpa pemberitahuan tertulis. Tindakan ini mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.

Sekolah semestinya menjadi ruang pembelajaran nilai kejujuran dan tanggung jawab, bukan tempat tumbuhnya praktik korupsi berkedok budaya. Klarifikasi yang datang terlambat memperlihatkan lemahnya akuntabilitas. Maka dari itu, perlu penegakan etika, transparansi, dan pengawasan yang lebih ketat agar sekolah benar-benar menjadi tempat edukasi, bukan sarang korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *