Banjir dikategorikan sebagai salah satu bencana alam. Tidak ada yang bisa menolak datangnya musim hujan sebagaimana datangnya gempa, tsunami, ataupun gunung meletus. Namun, manusia secara kolektif yang dianugerahi pikiran oleh Sang Khalik sepatutnya mampu melakukan upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan terhadap bencana apa pun agar tidak menimbulkan korban jiwa serta kerusakan yang lebih besar. Semua itu perlu dimulai dari aspek politik dan sosial.
Jika apa yang sosial, menurut filsuf Prancis Jacques Rancière, adalah persoalan keharmonisan, peneguhan tatanan, dan konsensus, maka apa yang politik berkutat pada persoalan ketidaksepakatan (disagreement) dan ketidakharmonisan. Namun, di balik keruwetannya, yang politik perlu diarahkan pada upaya menciptakan cita-cita serta kebaikan bersama, sebagaimana dikatakan Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1995), bahwa tujuan politik adalah memaksimalkan hidup yang baik dengan meminimalkan hidup yang buruk atau hampa.
Jika politik tidak diarahkan pada kebaikan, maka politik cenderung menjadi alat manipulasi dan syahwat kekuasaan, di mana rakyat hanya dijadikan objek dalam setiap momentum tanpa pernah keluh kesah mereka benar-benar diatasi. Politik yang manipulatif, jika dikaitkan dengan pernyataan Slavoj Žižek dalam esainya “Komunisme Global atau Hukum Rimba: Virus Korona Memaksa Kita untuk Memilih” (2020), ditandai oleh rendahnya komitmen politik yang tidak sebanding dengan besarnya ancaman yang dihadapi.
Dalam ajaran Hindu, politik yang tidak peka terhadap ancaman dapat mengganggu keseimbangan alam dan masyarakat. Dalam konsepsi dharma, yang menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan, ketika politik abai dalam memastikan kesejahteraan bersama sesuai dengan prinsip rta (tatanan kosmik), maka hal itu dapat memicu adharma, yang berujung pada kekacauan sosial, penderitaan, dan ketidakstabilan. Karena itu, ajaran Hindu menekankan bahwa pemimpin harus memiliki kesadaran spiritual dan kepekaan terhadap nilai-nilai dharma untuk menjaga harmoni serta mencegah kehancuran masyarakat. Namun, untuk mencapai hal tersebut, politik harus diisi oleh orang-orang yang berkemampuan.
Apalagi dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menyebut bahwa politik merupakan architectonica (the ruling science), yakni ilmu yang mengandaikan keanekaragaman teknik atau kecakapan. Konsekuensinya, mereka yang terlibat dalam politik hendaklah manusia yang cakap dan menguasai bidang yang termasuk dalam ranah ilmu politik.
Dalam konteks Indonesia, para pendiri bangsa adalah sosok politisi yang lengkap dan mumpuni, bukan sekadar mereka yang pandai pamer, gemar berbicara kosong, apalagi hanya lihai menebar bantuan.
Pada dasarnya, alam demokrasi telah menunjukkan kealamiahannya melalui prinsip keterbukaan, kesetaraan, keterlibatan, dan keadilan pada era reformasi. Kita sama-sama mengalami dan menjadi saksi lahirnya momentum kebebasan demokrasi, di mana kita disuguhi kerumitan permainan kekuasaan sosial-politik yang penuh tambal sulam, namun tetap bergerak menuju arah kesetimbangan yang berbeda. Kerumitan dalam permainan kekuasaan sosial dan politik ini tidak hanya terjadi di tingkat elite politik, tetapi juga menyentuh keadaban warga negara di seluruh pelosok Indonesia, termasuk Pulau Dewata yang baru saja dilanda bencana.
Tidak bisa dipungkiri, bencana di pulau ini memiliki unsur politik, meskipun sering ditutupi oleh logika mistika yang cenderung naif. Keterhubungan antara bencana dan persoalan politik dapat kita tinjau dari pendapat Dr. Caroline Brassard dari Lee Kuan Yew School of Public Policy dalam Disaster Risk Finance Capacity Building Program: Politics & Disaster Response, Case Studies from Asia (2020), yang menyatakan bahwa setiap bencana melibatkan kebijakan publik. Mulai dari keputusan yang dibuat oleh pemerintah di semua tingkatan (terkait persiapan, mitigasi, dan pengelolaan) hingga undang-undang kebencanaan yang memberikan kewenangan khusus kepada pejabat terpilih untuk mempercepat bantuan dalam sistem demokrasi. Semua itu pada dasarnya melibatkan proses politik.
Oleh karena itu, kita perlu memikirkan ulang sikap politik kita sebagai warga Bali setelah bencana banjir bandang pada “September hitam” 2025 ini. Bersikap apatis terhadap politik jelas bukan pilihan yang tepat, karena hampir semua lini kehidupan kita dipengaruhi oleh politik. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa partisipasi politik sebagai warga negara tidak lagi dapat diukur semata-mata melalui keikutsertaan dalam pemilu, melainkan juga melalui pengorganisasian diri dan penyampaian pendapat secara terbuka, penghargaan terhadap keberagaman, penghormatan pada keistimewaan, pembangunan daya tawar kewargaan, serta perluasan pemahaman mengenai struktur sosial-politik yang setara dan solutif.
Aksi massa yang terjadi sejak akhir Agustus hingga awal September di berbagai kota, termasuk di Bali, seharusnya tidak dinilai secara sinis. “Tidak ada asap tanpa api.” Kemarahan rakyat selalu memiliki pemicu, apalagi ketika kepercayaan terhadap pemerintah semakin tergerus. Bayangkan, ketika jurang ketimpangan semakin ekstrem: rakyat hanya sanggup menyewa rumah sempit di tengah kehidupan yang kian menghimpit, sementara di ruang-ruang elite para pejabat yang katanya mewakili rakyat justru mendapatkan kenaikan berbagai tunjangan. Ironisnya, ketika rakyat bergerak, aparat merespons dengan represi: pentungan, penembakan, penangkapan, bahkan pelindasan terhadap pengemudi ojol menggunakan kendaraan lapis baja.
Dalam konteks Bali, ada gejala di mana para pejabat lokal mulai menjadi indikator munculnya sentimen massa. Sentimen ini tentu lahir dari realitas objektif yang dirasakan sebagian masyarakat terhadap para politisi yang mereka anggap Machiavellian atau mempraktikkan gaya machiavellianistik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, dan pada akhirnya justru mengorbankan Pulau Dewata: budayanya, masyarakatnya, hingga alamnya.
Lalu, apa yang perlu kita lakukan ke depan sebagai masyarakat Bali selain menolak sikap apolitis dan memperkuat partisipasi politik kewargaan? Salah satu cara yang layak dicoba adalah dengan berfokus pada prinsip yang diajarkan oleh Niccolò Machiavelli: membedakan antara yang ideal dan yang aktual. Salah satu hal penting dari perspektif Machiavelli adalah soal prioritas. Menurutnya, ketika berada dalam tekanan, manusia hanya perlu mempertahankan hal-hal yang benar-benar penting dan kita harus mengetahui dengan jelas apa hal penting itu.
Nasehat Machiavelli ini tentu relevan, misalnya dalam menentukan apa yang perlu kita kerjakan setelah banjir bandang, bagaimana menghadapi bencana-bencana selanjutnya, dan apa yang harus kita koreksi dari kinerja para pejabat politik di Pulau Dewata.
Kita perlu mendasarkan partisipasi politik pada skala prioritas. Sebab, jika semua dianggap penting, maka tidak ada yang benar-benar penting. Kecepatan bertindak sesuai dengan sumber daya yang ada, itulah yang menjadi virtue (kebajikan). Dalam hidup, bisnis, maupun aktivisme, nasihat ini tetap berlaku. Bencana banjir bandang pada Rabu (10/09) seharusnya menjadi momentum perubahan untuk merealisasikan banyak hal yang selama ini kita anggap diabaikan oleh penguasa.
Pada akhirnya, kepekaan dan keaktifan dalam politik menjadi sikap penting bagi masyarakat Bali agar tidak terjebak pada citra semu, apalagi terpecah belah mengikuti arahan penguasa yang menari-nari di atas penderitaan rakyat. Hendaknya kita merebut kembali makna kemerdekaan, sebab kemerdekaan bukan sekadar persoalan seremonial, melainkan sesuatu yang hidup di belantara pikiran dan tindakan: berani menyangkal, mempertanyakan, dan membayangkan Bali yang lebih damai, bersih, adil, dan sejahtera.
Foto cover: Toko mainan terdampak banjir yang terjadi di Bali, Rabu (10/09). Sumber: Balinggih
Penulis kontributor: Putu Ayu Suniadewi
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra

Leave a Reply