,

Sudah Keracunan, Masih Disalahkan: Nir Empati Pejabat Publik

Siapa yang tidak mengenal lagu “Kisah Kasih di Sekolah” karya Obie Messakh yang dirilis pada tahun 1986 dan kembali dipopulerkan oleh almarhum Chrisye pada awal 2000-an? Lagu ini menggambarkan kisah cinta yang tumbuh di lingkungan sekolah, tentang masa muda yang polos, rindu, dan kenangan sederhana yang hangat.

Namun, jika lirik lagu itu dikaitkan dengan realitas masa kini, baris “Menanti pacar jawabku” mungkin perlu diubah menjadi “Keracunan jawabku.” Sebab, kisah yang muncul di sekolah saat ini tidak lagi tentang cinta remaja, melainkan tentang kasus keracunan makanan massal yang berulang kali terjadi.

Lirik “semut merah menatapku curiga, sedang apa di sini” kini terasa seperti sindiran bagi masyarakat yang mulai curiga terhadap mutu makanan di sekolah. Dulu, problematika di sekolah hanya berkisar pada persoalan percintaan, kenakalan, atau kesurupan. Kini, dalam lima tahun terakhir, kasus keracunan menjadi fenomena baru yang tidak bisa diabaikan.

Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang dirilis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menunjukkan bahwa kasus keracunan terjadi akibat kontaminasi bakteri seperti Escherichia coli (air, nasi, tahu, ayam), Staphylococcus aureus (tempe, bakso), Salmonella (ayam, telur, sayur), Bacillus cereus (mi), serta Coliform, PB, dan Klebsiella dari air yang terkontaminasi.

Sampai saat ini, lebih dari 5.000 penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) dilaporkan mengalami keracunan. Di wilayah Indonesia bagian tengah, termasuk Bali, tercatat lebih dari 100 orang menjadi korban. Walaupun data di Bali belum diperbarui secara resmi, angkanya tetap mencemaskan.

Ironisnya, bagi sebagian pejabat publik, jumlah korban ini masih dianggap “lumrah.” Mereka menilai, dari sekian banyak penerima MBG, kasus keracunan masih tergolong kecil dan belum layak disebut tragedi nasional. Logika semacam ini justru menunjukkan rendahnya empati pejabat terhadap keselamatan publik.

Program MBG memang tampak populis karena dikemas sebagai upaya pemerataan gizi. Namun, kebijakan yang tampak dermawan ini juga sarat risiko salah kelola, potensi korupsi, dan pemborosan anggaran. Tidak sedikit pengamat menilai, MBG adalah kebijakan yang lebih berorientasi pada citra politik ketimbang solusi jangka panjang.

Temuan daging mentah merah yang tampak masih berdarah di salah satu kotak makan MBG di sebuah SD di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Februari 2025. Sumber: BBC NEW Indonesia / Eliazar Robert

Oleh karena itu, kita tidak boleh menganggap program ini sudah ideal hanya karena dibagikan secara gratis. Program negara seharusnya diukur dari efektivitasnya menyelesaikan masalah pada akar persoalan, bukan dari seberapa cepat menambal masalah di permukaan. Pemerintah boleh berdalih bahwa MBG bertujuan mengatasi gizi buruk dan kelaparan anak-anak, tetapi mereka sering lupa bahwa akar persoalannya terletak pada kemiskinan struktural, pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan, dan masih kuatnya budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Selama akar persoalan itu tidak diselesaikan, MBG hanya akan menjadi kebijakan tambal sulam. Bahkan lebih buruk lagi, program ini berisiko menjadi bancakan proyek kekuasaan yang menghasilkan pejabat tanpa kompetensi dan tanpa rasa tanggung jawab.

Negara yang hanya memberi makan tetapi lupa memberi ilmu akan melahirkan masyarakat yang perutnya kenyang, tetapi pikirannya kosong. Ironisnya, anggaran pendidikan tahun 2026 justru mengalokasikan dana hingga Rp335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis, jauh melampaui dana untuk guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun beasiswa pendidikan.

Apakah pendidikan kini hanya soal perut? Makanan memang penting untuk menyehatkan tubuh, tetapi yang menggerakkan bangsa adalah pikiran. Jika guru terus terpinggirkan, jika sekolah hanya menjadi dapur besar tanpa ruang berpikir, maka bangsa ini akan tumbuh sehat secara fisik tetapi kerdil secara intelektual.

Pemerintah memang telah melakukan sejumlah evaluasi, seperti penutupan sementara sekolah terdampak dan pemeriksaan lintas disiplin yang melibatkan berbagai ahli. Namun, persoalan keracunan MBG tetap menyisakan banyak masalah. Mulai dari intimidasi terhadap pihak yang mengungkap mutu makanan, rendahnya kualitas gizi yang disediakan, hingga gaya komunikasi pejabat publik yang cenderung menyalahkan korban.

Sungguh ironis. Mereka yang terbaring karena keracunan justru kembali disalahkan. Rakyat tidak hanya menjadi korban kebijakan yang gagal, tetapi juga korban dari arogansi pejabat yang kehilangan empati.

Suasana siswa SMP & Kupang diduga keracunan MBC dirawat di IGD RSUD SK Lerik Kota Kupang, NTT, Selasa (22/7/2025). Sumber: Detik Bali / Simon Selly
Komunikasi yang Menyalahkan dan Mengalihkan Tanggung Jawab

Rasa-rasanya tangisan seorang Nanik, salah satu petinggi di Badan Gizi Nasional, tidak bisa menutupi kemuakan publik terhadap program MBG. Tangisan itu justru dijadikan meme dan dianggap seperti tangisan buaya. Di tengah paradoks negeri yang katanya kaya hingga tongkat dan kayu jika ditanam bisa menjadi pentungan, persoalan arogansi pejabat yang termanifestasi dalam komunikasi publik mereka memang menyebalkan.

Pola komunikasi yang nir empati itu dapat disebut sebagai reaksi yang abusive dan offensive. Pola komunikasi offensive biasanya bertujuan menyinggung perasaan, keyakinan, atau identitas seseorang, sering kali melalui humor kasar, stereotip, atau kata-kata kotor. Sementara itu, pola komunikasi abusive melibatkan serangan yang disengaja untuk mendominasi, mengendalikan, merendahkan, mengalihkan, atau menyebabkan kerusakan psikologis dan fisik pada korbannya.

Dampak dari dua pola komunikasi yang saling memengaruhi ini justru membuat ruang publik terdegradasi menjadi medan permusuhan yang tidak produktif. Diskusi substantif digantikan oleh retorika kebencian, kepercayaan antar kelompok menipis, dan pada akhirnya proses demokrasi serta pencarian solusi atas masalah bersama menjadi terhambat.

Ironisnya, hampir di setiap permasalahan, termasuk bencana alam, ada saja ulah pejabat yang menunjukkan komunikasi abusive dan offensive. Dalam tragedi banjir di Bali, misalnya, pemimpin justru membantah fakta banyaknya korban jiwa dan mengabaikan alih fungsi lahan sebagai penyebab banjir. Pada kesempatan lain, ketika ditanya soal sampah, yang seharusnya dijawab dengan solusi bijak, seorang pemimpin justru berkata, “Sampah buat sendiri, urus sendiri.”

Dalam konteks keracunan MBG, permasalahan komunikasi abusive dan offensive kembali muncul. Dari pucuk pimpinan tertinggi terdengar pernyataan bahwa keracunan terjadi karena anak-anak lupa mencuci tangan. Di tingkat daerah, Gubernur Jawa Barat berkata, “Evaluasinya macam-macam. Kadang ada yang perutnya kaget, diare, itu hal biasa. Jangan dibesar-besarkan, nanti malah bikin orang takut.” Dari tingkat kementerian, Muhaimin Iskandar menyebut banyak MBG justru mencegah anak-anak agar tidak terlalu banyak mengonsumsi MSG, tanpa melihat kenyataan bahwa banyak olahan MBG justru menggunakan MSG. Bahkan pimpinan BGN sendiri menyebut kasus keracunan masih dalam batas wajar, seolah menepikan mereka yang menjadi korban.

Sejumlah siswa menimati Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Lengkong Wetan 01, Tangerang Selatan, Banten. Sumber: Putu Wahyu Rama/Rakyat Merdeka/rm.id
Solusi Mengatasi Komunikasi Publik yang Abusif dan Ofensif

Rasanya ironis jika para pemimpin di republik yang kaya budaya serta menjunjung kebijaksanaan bertutur dan bertindak justru mempertontonkan pola komunikasi yang abusif dan ofensif. Oleh karena itu, diperlukan empat solusi untuk merespons masalah ini, yang terbagi menjadi dua bagi mereka yang memegang tampuk kekuasaan dan dua bagi masyarakat dalam merespons pejabat yang memiliki pola komunikasi semacam itu.

Bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan dan dibebani amanah untuk memimpin, perlu mengutamakan dua hal berikut.

Pertama, menerapkan pola komunikasi yang akomodatif dan korektif. Akomodatif berarti berkomunikasi dengan tujuan menyesuaikan diri atau mendekatkan jarak dengan lawan bicara, sering kali dengan menunjukkan empati, dukungan, fleksibilitas, dan penghargaan terhadap perbedaan. Sementara itu, pola komunikasi korektif lebih menyoroti dan memperbaiki ketidaksesuaian, kesalahan, atau penyimpangan yang terjadi dalam interaksi, misalnya dengan memberikan kritik konstruktif, koreksi atas fakta, atau teguran untuk mengembalikan percakapan pada jalur yang benar. Singkatnya, komunikasi akomodatif berfokus pada membangun harmoni, sedangkan komunikasi korektif berfokus pada memperbaiki kesalahan dan berani mengakui kekeliruan.

Kedua, menginternalisasi nilai-nilai kebijaksanaan sesuai konteks budaya dan agama dalam memimpin. Dalam konteks Indonesia yang beragam, budaya dan agama bukan hanya identitas, tetapi juga sumber nilai dan panduan moral yang mesti diterapkan. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di lingkungan dua budaya, Jawa dan Bali, saya menemukan ajaran Tri Kaya Parisudha (pikiran, perkataan, dan perbuatan yang suci) dalam budaya Bali yang menuntut agar ucapan selaras dengan pikiran baik serta diwujudkan dalam tindakan benar, sehingga komunikasi harus jujur, tidak menyakiti, dan membangun harmoni. Sementara itu, budaya Jawa mengajarkan Ajining diri dumunung ana ing lathi, ajining raga dumunung ana ing busana (harga diri seseorang terletak pada ucapannya, harga raga terletak pada pakaiannya), yang menegaskan betapa berharganya setiap kata yang diucapkan.

Sementara di tingkat masyarakat sipil, yang menjadi tugas kita sebagai bagian dari bangsa ini, terdapat dua langkah yang perlu dilakukan.

Pertama, menerapkan zero tolerance terhadap segala bentuk ucapan yang berpola abusif dan ofensif, termasuk dengan melakukan kritik tajam atau protes terhadap pejabat yang berperilaku demikian.

Kedua, menarik kepercayaan terhadap para pejabat yang terus mempertunjukkan arogansinya. Mereka tidak boleh terus merasa berkuasa hanya karena kita diam, padahal sumber kekuasaan mereka berasal dari kepercayaan rakyat.

Foto cover: Pekerja menunjukan menu paket makanan bergizi gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Lamongan, Jawa Timur, Rabu (22/1/2025). Sumber: ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Spt.
Penulis: Mansurni Abadi
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *