Indonesia dalam usia puluhan tahun, dan Nusantara dalam ratusan tahun usia, telah membuktikan kehidupan bhinneka yang harmonis. Bagaimana keharmonisan dapat dirawat? Bagaimana keselamatan dapat dibagi? Dengan 1300an suku yang mendiami bangsa Indonesia, masyarakat sendiri tentu telah banyak melakukan upaya untuk saling bertoleransi satu sama lain, Jika tidak, mana mungkin Indonesia dapat berjalan sejauh ini.
Salah satu contoh kecil dari praktik baik dalam upaya ini adalah apa yang bisa dilihat di wilayah Jembrana, Bali. Ada komunitas muslim berlatar Melayu, Bugis dan Jawa yang hidup di tengah wilayah yang jelas bagian dari loka Hindu Bali sejak era kerajaan (kekuasaan Puri Agung Negara di Jembrana). Ada sejarah yang panjang dan berbagai tawaran cara yang telah terjadi di sana untuk mempertahankan hubungan yang damai satu sama lain, Salah satu tawaran yang penting adalah pasti melalui interaksi sosial budaya. Dari budaya inilah keharmonisan dan keselamatan bukan sekedar dirawat dan dibagi, namun juga diturunkan ke generasi selanjutnya.
Kenapa transmisi pengetahuan akan sejarah juga upaya-upaya toleransi yang dilakukan kedua belah pihak ini perlu diturunkan? Dengan adanya berbagai disrupsi ditambah ketidaktahuan atau ketidak ingin tahuan terhadap sejarah, membuat generasi selanjutnya atau generasi pendatang yang baru tidak terhubung dengan budaya yang telah dipegang sejak nenek moyangnya. Sehingga, ini membuat kelompok di generasi terkini berpotensi dengan ringan tidak ikut serta dalam upaya menjaga keharmonisan, merasa tidak punya kepentingan atas itu, bahkan ignorant. Jika ini terus berlanjut, akan banyak tindakan intoleransi yang mewujud dan menjadi pemicu konflik di tanah yang telah terjaga keharmonisannya sekian lamanya.
Melihat situasi ini, maka kita dapat mengatakan bahwa praktik budaya dan pengetahuan akan sejarah menjadi pusat dari cara menjembatani dialog dari komunitas-komunitas yang multikultur. Maka kali ini koreografer asal Badung, Bali, Dr. Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, mencoba menelusuri sejarah desa Loloan dan hubungannya dengan dinamika sejarah Puri Agung Negara pada masa itu, sekaligus melihat praktik Ambur Salim sebagai salah satu pintu masuknya. Ambur Salim merupakan sebuah tradisi dalam perayaan keagamaan dan hajatan keluarga, di mana beras kuning dan koin logam dihamburkan ke arah kerumunan sebagai simbol berbagi harapan akan keselamatan keselamatan dan syukur. “Ambur” berasal dari bahasa Bali yang berarti menyebarkan, dan “Salim” berarti keselamatan. Praktik ini telah dilaksanakan turun temurun oleh masyarakat desa Loloan, Jembrana, Bali. Ketika masyarakat global dengan terus berjuang mencari formula untuk perdamaian, bisa jadi esensi dari tradisi ini adalah salah satu jawabannya.
Melalui karya tari berjudul Swasti Salim, koreografer yang biasa disapa dengan panggilan Gung De Rama ini akan membawa kita pada refleksi atas nilai-nilai kebaikan dan keselamatan yang telah hidup secara organik dalam masyarakat yang plural di Indonesia.
“Swasti dalam bahasa Sanskerta, berarti kebaikan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Sementara “Salm” atau “Salam dalam bahasa Arab berarti keselamatan dan juga menyapa dengan ramah dalam bahasa Indonesia. Judul ini bukan sekadar gabungan kata dari dua kebudayaan besar, namun merupakan simbol dari semangat hidup harmonis antara komunitas Hindu dan Muslim di Bali-khususnya di Jembrana.
Bagi Gung De Rama, karya ini bukan sekedar koreografi, namun juga relasi panjang antara dirinya dengan masyarakat desa Loloan. Oleh karenanya, versi pendek dari karya utuh ini akan diserahkan kepada perwakilan masyarakat desa Loloan, yang harapannya dapat menjadi tari ikonik untuk acara-acara penting di desa Loloan. Ini adalah bentuk penghormatannya kepada masyarakat yang telah menerimanya selama ini, bukan sekedar sebagai peneliti dan seniman, namun juga sebagai keluarga. Sebelumnya koreografer yang juga founder Yayasan Pancer Langit ini juga telah memberi ruang bagi masyarakat untuk mengenal desa Loloan melalui karya Hikayat Awi. Karya ini mengangkat bagaimana masyarakat desa Loloan selalu kuat untuk menjaga kultur mereka di tengah himpitan arus modernisasi, salah satunya melalui Awi yang merupakan penutup wajah atau cadar khas dari masyarakat muslim Loloan Jembrana Bali. Maka karya Swasti Salim kali ini bukan datangnya tiba-tiba, namun melalui sejarah hubungan yang telah dibangun sebelumnya.
Persilangan tradisi dan budaya “Bugis-Melayu-Bali” akan menjadi salah satu kekuatan karya ini. Beberapa di antaranya, dalam penggunaan bahasa Melayu dan Bali dalam mantra, syair atau tembang, musikalitas musik gambus, kendang Bugis/Melayu dan gamelan Bali; serta ragam gerak, seperti silat, tari melayu dan ragam gerak khas Bali. Di dalam versi panjangnya, Swasti Salim diharapkan juga memuat gambaran ringkas mengenai awal mula kedatangan komunitas Bugis dan Melayu yang diterima oleh Penguasa Puri Agung Negara dan kemudian diberikan wilayah Loloan atas perlindungan dan dari penguasa Puri Agung Negara.
Melalui fasilitasi Dana Indonesiana, LPDP dari Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia dan inisiatif dari Yayasan Pancer Langit (Badung, Bali) dan Loka Art Studio (Gunung Kidul, Yogyakarta) akhirnya karya yang telah digarap sejak Januari 2025 ini akan premier secara publik pada tanggal 26 mei 2025 di Kantor Bupati lantai 3, Ruang Kerta Gosana
Esensi dari karya ini, dapat menjadi inspirasi dan prasasti mengenai bagaimana tawaran hidup berdampingan antara penduduk muslim desa Loloan di tengah kehidupan masyarakat Bali yang dikenal sangat religius dalam keagamaan Hindu. Lebih dari itu, ini adalah tawaran bagi kita semua di manapun berada untuk berbagi keselamatan dan merawat keharmonisan di lingkungan sekitar kita, bahkan dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Sebagai sebuah proses kesenian, interaksi dan akulturasi budaya antar komunitas semacam ini adalah juga modal utama dalam proses pemajuan kebudayaan yang bermuara pada cita-cita Indonesia Raya dalam lagu kebangsaan kita “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya.”
Foto cover: Dokumentasi Tim Balinggih
Press release: Swasti Salim

Leave a Reply