Foto cover: Instagram @djdiahkrisna
Penulis kontributor: I Putu Gede Yoga Pratyusa Adnyana
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra
Kelulusan seharusnya menjadi momen penuh sukacita; titik awal dari masa sekolah menuju kehidupan yang lebih dewasa; Dengan tanggung jawab seorang individu di masyarakat yang tidak lagi dapat dihindari.
Belakangan ini, makna itu terasa kabur. Sebuah sekolah di Bali menjadi sorotan setelah acara kelulusannya tersebar luas di media sosial. Dalam video (link video dapat diakses disini) yang beredar, suasana perayaan tampak meriah, lengkap dengan penampilan DJ dan nuansa pesta yang jarang terlihat di ruang pendidikan.
Bagi sebagian anak muda, perayaan seperti ini dianggap wajar. Mereka menyebutnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Cara baru merayakan kelulusan tanpa konvoi ugal-ugalan atau perusakan fasilitas umum.
Salah satu komentar warganet menyebutkan, “…aku senang lihatnya joget-joget di sekolah, ketimbang gower-gower belayer–belayer di jalan itu lebih bahaya.”
Ini dianggap sebagai tanda bahwa generasi sekarang berani tampil beda. Merdeka dalam merayakan pencapaian. Namun pada perspektif yang lain, banyak yang merasa geram. Menurut mereka, ini bukan sekadar hiburan; ini soal nilai; soal etika; soal tanggung jawab.
Pihak sekolah dinilai lalai. Tidak ada penyaringan acara. Tidak ada pendampingan. Bahkan mungkin, tidak ada refleksi. Pihak sekolah dinilai lalai dalam melakukan penyaringan acara, pendampingan, serta refleksi. Acara ini menyisakan pertanyaan: apakah sekolah masih punya arah? Atau sudah hanyut dalam arus tren dan viralitas?
Pulau Bali hidup di antara dua kutub yang terus bertarung diam-diam—antara warisan budaya yang sakral dengan gelombang modernitas yang gemerlap. Sebuah dilema yang semakin nyata, sebagaimana dibahas lebih dalam pada artikel “Bali di Ambang Dilema: Jadi Pulau Seribu Pura atau Seribu Klub?!”
Perayaan kelulusan boleh meriah, namun semestinya tak kehilangan maknanya. Tak kehilangan hormat pada ruang pendidikan. Jika suara DJ lebih keras dari suara guru dan sorak sorai menenggelamkan nilai-nilai moral dan budaya, maka kita sedang melihat sebuah krisis. Seperti sebuah sesenggakan, “Buka bangken gajahe, jeg joh mebo.”

Leave a Reply