Setiap tanggal 1 Juni, sebuah negeri mendadak suci. Semua pejabat berdiri tegak, tangan di dada, menyanyikan lagu kebangsaan dengan mata berembun. Pancasila dibacakan penuh khidmat, seolah kelima sila itu benar-benar hidup dalam setiap keputusan dan perilaku. Namun realisasi yang terjadi di lapangan, kekuasaan lokal mengatur makna Pancasila sesuai selera masing-masing.
Beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan bagaimana beberapa ormas dari luar Bali ditolak mentah-mentah. “Saya pecalang. Kami bukan penjaga biasa. Kami adalah bagian dari sistem adat yang sudah diwariskan turun-temurun untuk menjaga Bali. Kami tidak butuh ormas dari luar,” ujar seorang anggota pecalang dalam video berita yang dikutip dari iNews.
Pejabat bersuara, pecalang turun tangan, dan masyarakat menolak. Namun ketika oknum ormas lokal bertindak seenaknya, memaksa, menekan, dan bahkan menciptakan ketegangan di masyarakat, reaksinya tidak sekeras dari yang disampaikan. Jika ormas lokal dianggap sebagai bagian dari budaya, kenapa tidak diciptakan “Pancasila” edisi Bali, Jawa, Sumatera, dan yang lainnya? Siapa tahu bisa sekalian dijadikan merchandise.

Standarisasi ganda pemerintah dalam melegalkan ormas yang disebut-sebut itu ternyata bukan soal etika atau hukum, tetapi soal siapa yang lebih dulu duduk di atas meja. Adil seharusnya tidak boleh pilah-pilih dalam “Membedil”. Jangan bicara “Menjaga Pancasila” kalau yang dijaga hanya kepentingan lokal. Jika terus begini, jangan salahkan generasi muda jika mengartikan “Persatuan Indonesia” dengan makna negara yang bersatu, kemudian muncul banyak persatuan yang adu kuat dengan persatuan yang lainnya.
Foto cover: bali.kemenkum.go.id
Penulis kontributor: Guntur Syah Alam
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra
Leave a Reply