,

Mengusut Drama Gong Dari Kaca Mata I Wayan Dibia

Drama Gong

Muncul di Bali pada pertengahan 1960-an sebagai bentuk seni pertunjukan baru yang mengedepankan akting realistis dan dialog verbal. Berbeda dengan dramatari seperti Gambuh atau Arja, Drama Gong menggunakan Gamelan Gong Kebyar sebagai identitas musikal utama. Meskipun modern, seni ini tetap berpijak pada tiga prinsip dasar kesenian Bali: satyam (kebenaran), shiwam (kesucian), dan sundaram (keindahan).

Batasan Drama Gong

Drama Gong adalah hasil sintesis antara teknik teater Barat dan elemen tradisional Bali. Pertunjukannya tidak berbasis naskah tertulis, melainkan improvisasi yang hidup. Tabuhan gamelan gong mengiringi tiap pergerakan dan dialog para tokohnya. Oleh Anom Ranuara, seni ini disebut sebagai teater rakyat, karena bentuknya yang dekat dengan masyarakat, meski tata artistik panggungnya terbilang kompleks.

Pencipta Drama Gong

Drama ini diciptakan oleh A.A. Gede Raka Payadnya pada 1966, terinspirasi dari Sendratari Jayaprana. Awalnya menggunakan bahasa Indonesia, lalu beralih ke bahasa Bali. I Gusti Bagus Nyoman Panji kemudian mengusulkan nama “Drama Gong” untuk menegaskan peran gamelan dalam pertunjukan. Sebelum itu, telah ada bentuk sandiwara dan Drama Janger yang memperlihatkan embrio teater rakyat Bali.

Drama Gong membawakan cerita rakyat romantis seperti Jayaprana atau Cupak Grantang, menggunakan dialog sehari-hari, tanpa tembang, namun tetap berakar pada estetika tari dan musik Bali. Pertunjukannya kerap digelar di balai banjar, pura, hingga ruang terbuka dengan sistem karcis, suatu hal yang baru dalam tradisi pertunjukan Bali.

Masa Kejayaan Drama Gong

Puncak kejayaan Drama Gong terjadi pada 1970-an. Festival Drama Gong se-Bali menjadi panggung gemilang, dengan grup Wijaya Kusuma Abianbase sebagai juara utama. Kecintaan masyarakat sangat tinggi hingga tiap banjar membentuk sekaa. Namun, masuknya televisi pada 1980-an menggeser minat publik, menyebabkan banyak sekaa bubar dan popularitas Drama Gong menurun tajam menjelang tahun 2000-an.

Munculnya Drama-drama Baru

Setelah redupnya Drama Gong, muncul dua varian baru. Drama klasik, diciptakan oleh Ida Bagus Anom Ranuara, menyajikan lakon pewayangan bergaya realis, berbasis naskah, dan tampil di layar kaca. Gamelan bersifat ilustratif, tidak mengikat gerakan pemain. Lalu Drama lawak, hadir sebagai bentuk ekspresi humor yang dirindukan publik. Diperkuat oleh pelawak dari berbagai seni (Drama Gong, Calonarang, Arja, dll), drama ini berkembang menjadi prembon lawak yang menggabungkan beragam karakter dan identitas seni Bali. Ketiga bentuk ini saling memengaruhi dan memperkaya khasanah seni pertunjukan di Bali.

Drama Gong Sebagai Pengemban Bahasa Bali

Drama Gong berperan penting dalam pelestarian bahasa Bali. Ia menjadi ruang pembelajaran bahasa secara hidup—menggunakan tiga tingkat bahasa: alusmadya, dan kasar, sesuai dengan situasi dramatik.

Bahasa kasar diperbolehkan, tetapi memisuh (mengumpat dengan kata-kata kotor) tetap dihindari karena dapat menodai kesucian ruang pertunjukan. Etika berbahasa yang halus, berestetika, dan bermakna menjadi tanggung jawab moral para pelaku seni di atas panggung.

Drama Gong Puspa Anom Banyuning Singaraja

Sekaa Puspa Anom Banyuning dari Buleleng adalah representasi Drama Gong Bali Utara, sejajar dengan Wijaya Kusuma Abianbase dari Bali Selatan. Set tenda gulung realis, latar lukisan sesuai adegan (kerajaan, taman, makam); cerita rakyat Sampik Ingtai, lakon tragis-romantis yang menyentuh berbagai emosi penonton; dialog beraksen Buleleng, penggunaan bahasa Bali lengkap dalam tiga tingkatan secara tepat dan elegan.

Meski sangat kuat secara dramaturgi dan identitas, drama Banyuning pun perlahan menghilang seiring meredupnya kejayaan Drama Gong. Namun, tampilnya kembali di Pesta Kesenian Bali menjadi momen nostalgia sekaligus bukti daya hidup seni ini.

Sebagai kesenian yang lahir dari denyut zaman dan tradisi, Drama Gong menjadi simpul penting dalam sejarah seni pertunjukan Bali. Ia tidak sekadar menghibur, tapi juga mendidik dan memuliakan nilai-nilai luhur budaya. Dengan keseimbangan antara logika, etika, dan estetika, para seniman Drama Gong mengambil peran sebagai guru loka—pengajar nilai lewat seni. Maka, membangkitkan dan merawat Drama Gong bukan sekadar nostalgia, melainkan bentuk cinta pada warisan budaya Bali yang otentik dan dinamis.

Foto cover: Balinggih
Penulis: Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA.
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *