Di suatu pagi yang mestinya hening, saat embun masih malu-malu menyapa batang padi, terdengar suara alat berat menari di antara galengan. Bukan gamelan yang mengiringi persembahan untuk Bhatara Sri, melainkan deru eskavator yang dengan elegan merobek tubuh sawah. Sebuah proyek villa dengan infinity pool dan janji “spiritual retreat“.
Ironi pahit justru menggantung di langit Canggu. Bukan karena langit mendung, tetapi karena langit itu kini terhalang oleh siluet bangunan villa baru yang menutup saluran irigasi Subak Uma Desa.
Ketua Komisi II DPRD Badung, Made Sada memaparkan, “Jika ini ditutup kan jelas mengganggu aktivitas petani dalam pengairan sawah mereka. Kami sudah lihat ada pembersihan, tapi kan itu belum maksimal. Kita juga meminta para aparatur desa juga ikut mengawasi dan kita minta pembangunan villa atau hotel ini nantinya mundur satu meter dari saluran irigasi subak,” sebagaimana dikutip oleh Setwan dalam artikelnya di website resmi Sekretariat DPRD Kabupaten Badung (2025).

Subak bukan sekadar saluran air. Ia adalah nadi pertanian Bali, warisan leluhur, dan sistem kearifan lokal yang sudah ada jauh sebelum Bali dikenal dengan yoga dan smoothie bowl. Seperti kata para tetua adat atau krama subak, “Sri sedana tan hana karing subak, tan hana karing urip,” yang berarti “Tanpa Bhatara Sri Sedana, tiada subak. Tanpa subak, tiada hidup.”
Subak diatur dan dilindungi oleh hukum. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak menegaskan bahwa subak adalah lembaga adat fungsional yang memiliki peran penting dalam pelestarian pertanian berkelanjutan dan tata kelola air. Tapi rupanya, di mata sebagian orang, Perda hanyalah dekorasi dalam dokumen AMDAL yang disusun dengan tergesa.
Foto cover: Ilustrasi dari AI
Penulis kontributor: Guntur Syah Alam
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra
Leave a Reply