Nyoman dan Ketut Dipaksa Hadir demi Insentif?

Program pemberian insentif yang digagas Gubernur Bali, I Wayan Koster, untuk anak-anak yang diberi nama Nyoman atau Ketut menuai perhatian publik. Di satu sisi, kebijakan ini tampak sebagai upaya mulia untuk melestarikan tradisi penamaan khas Bali yang mulai hilang. Di sisi lain, muncul pertanyaan besar. Apakah menjaga budaya harus dengan insentif? Dan lebih jauh, apakah semua keluarga mampu mengikuti arahan budaya yang kian terasa kaku?

Bagaimana nasib dari Nyoman dan Ketut di Bali?

Dalam sistem penamaan tradisional Bali, nama Nyoman (atau Komang) dan Ketut menunjukkan anak ketiga dan keempat. Namun kini, hanya sedikit populasi anak dengan nama Nyoman dan Ketut, sebagian besar keluarga Bali modern hanya memiliki dua anak. 

Fakta demografis menunjukkan, Provinsi Bali memiliki jumlah penduduk sekitar 4,4 juta jiwa (1,6 persen dari penduduk Indonesia) dengan luas wilayah hanya 5.590 km². Pertumbuhan penduduknya pun hanya sebesar 0,66 persen per tahun, lebih rendah dari rata-rata nasional yang berada di angka 1,04 persen. 

Secara objektif, penurunan jumlah anak yang lahir di Bali bukan sekadar pilihan, melainkan fenomena demografis struktural. Apalagi, jumlah keluarga besar kian menyusut, mengikuti kecenderungan nasional dan global.

Alasan mereka bukan karena melupakan budaya, melainkan realitas ekonomi yang kian menghimpit. Biaya hidup tinggi, pendidikan yang mahal, dan keterbatasan ruang hidup membuat keputusan memiliki banyak anak bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil bagi sebagian besar keluarga.

Bagaimana respon dari pemerintah terkait isu ini?

Isu ini menjadi landasan Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam menggagas kebijakan insentif tahun 2025. Ia mengatakan, “Nama depan Nyoman dan Ketut hampir punah di Bali, harus kita jaga ini. Kalau nggak, maka nama Nyoman dan Ketut itu tinggal di museum saja ke depan.” Ia juga menekankan, “Nanti kita data di sekolah, dikasih uang untuk buku, pakaian seragam,” jelas Koster suatu ketika. Pemberian insentif ini diberikan kepada Nyoman dan Ketut yang lahir tahun 2025.

Lebih dari itu, Tim Perencanaan Pelestarian Nama Depan Anak untuk Nyoman/Komang dan Ketut bahkan dimasukkan dalam 32 tim percepatan pelaksanaan program agenda Provinsi Bali 2025–2030. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah memberi perhatian serius terhadap isu pelestarian nama dalam konteks budaya Bali.

Apa urgensi dari mempercepat kelahiran Nyoman dan Ketut?

Data dari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN di akhir tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 75 juta keluarga, dengan 40 juta di antaranya merupakan pasangan usia subur. BKKBN juga mencatat bahwa keluarga dengan dua anak cenderung lebih sehat dan sejahtera dibandingkan dengan yang memiliki lebih dari dua anak. 

Anjuran “Dua Anak Lebih Baik” yang digaungkan BKKBN bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga dan mencegah risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Kepala Kemendukbangga/BKKBN, Dr. H. Wihaji, S.Ag., M.Pd., menyampaikan, data tersebut dapat dijadikan sebagai fondasi untuk mengambil kebijakan yang lebih presisi, termasuk program terkait penurunan stunting.

Lantas, apakah program Gubernur Bali sudah cukup presisi? Apakah kehadiran dua nama itu, yang sejatinya hanya penanda urutan lahir, akan memberi dampak signifikan bagi masa depan Bali? Apakah bertambahnya anak-anak bernama Nyoman dan Ketut akan otomatis membawa kesejahteraan, atau justru menambah beban sosial, ekonomi, dan lingkungan di tengah kondisi yang sudah rapuh? 

Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan agar kebijakan publik tidak berhenti pada simbolisme budaya, tetapi benar-benar menyentuh substansi kehidupan masyarakat. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya pelestarian nama, tapi juga kualitas hidup generasi yang menyandangnya.

Pelestarian nama Nyoman dan Ketut seharusnya tidak sekadar soal memberi nama atau memberi uang. Ia perlu didukung oleh pendekatan kultural yang memampukan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan spiritual, untuk tetap merasa bahwa menjadi bagian dari tradisi Bali bukan beban, tapi kebanggaan. Dengan begitu, warisan dan tradisi akan benar-benar hidup, bukan sekadar statistik dalam laporan kebijakan.

Foto cover: Bapak I Wayan Koster bersama seorang anak kecil. Sumber: Beritadewata.com
Penulis: I Wayan Dede Putra Wiguna
Penyunting: I Made Indra Cipta Widhiastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *